Sabtu, 09 Januari 2010
Laporan Kegiatan
Kajian diawali dengan pemaparan data-data yang mengarah kepada lambannya perkembangan perbankan syariah dari tahun ke tahun oleh sdr. Aam slamet. Menurutnya perbankan syariah yang saat ini hanya memiliki asset 2%, pada tahun 2010 tidak akan bisa mencapai 5%. Fakta lain yang dikemukakan adalah melihat dari NPF ( non performing financing ) bank syariah selama tahun 2009 lebih dari 5 %, yang berarti merupakan ciri-ciri ketidaksehatan sebuah bank. Sikap pesimistis ini didukung oleh kenyataan bahwa setelah diteliti ternyata instrument-instrumen perbankan syariah tidak mempunyai pengaruh besar terhadap penanganan inflasi dan GDP.
Setelah pemaparan dari pihak yang pesimistis, kajian selanjutnya adalah pemaparan dari pihak yang optimis terhadap perkembangan bank syariah oleh sdr. Abdul Wahid. Tidak mau kalah dengan pembicara yang pertama, dalam pemaparannya sdr. Abdul Wahid memberikan suatu bukti sejarah bahwa perbankan syariah pada saat krisis 1999 dapat menjadi sebuah solusi pada saat itu, lantas kenapa kita harus pesimis. Data yang diungkap oleh pembicara kedua adalah BOPO perbankan syariah lebih kecil daripada BOPO perbankan konvensional. Hal ini membuktikan bahwa perbankan syariah itu lebih efisien daripada perbankan konvensional.
Debat antara dua pembicara ini semakin memanas setelah moderator memberikan kesempatan pada audience untuk memberikan komentar. Pada awalnya komentar banyak diajukan untuk sdr. Abdul Wahid yang berarti mulai timbul keraguan dalam benak audience, mungkinkah perbankan syariah akan berkembang dengan pesat pada tahun 2010, melihat data-data yang dipaparkan oleh sdr. Aam Slamet.
“Mengapa tidak” ujar saudara Wahid. Menurut data time saries yang ada menjelaskan bahwa pertumbuhan perbankan syariah searah dengan pertumbuhan GDP. Ketika GDP naik, maka perbankan syariah juga mengalami kenaikan yang signifikan. Sedangkan menurut proyeksi IMF, pertumbuhan ekonomi dunia akan mengalami peningkatan di tahun 2010 yaitu 3,1. Meski pada tahun 2009 mengalami kontraksi yaitu -1,1 akibat krisis global. Selain itu, pada tahun 2010 akan ada pemain baru lagi yang cukup potensial yaitu BNI syariah dan BCA syariah. Belum lagi Perbankan syariah sudah memiliki kepastian hukum dengan disahkannya UU No.21 tahun 2008. Regulasi yang ada pun sudah semakin kondusif. Di antaranya adalah dengan adanya UU No. 42 tahun 2009 tentang PPN, yang akan efektif berlaku pada tanggal 1 April 2010.
Beberapa kritikan-kritikan dilontarkan sdr. Aam terhadap pemaparan sdr. Wahid antara lain, sdr.Wahid tidak menggunakan data-data yang valid dalam pemaparannya. “ Pemaparan sdr Wahid menggunakan ayat dan hadist saja, sehingga tidak dapat diterima oleh kaum non muslim yang tidak percaya dengan Al-quran. Seharusnya saudara juga menggunakan data-data dan analisis-analisis yang ilmiah” ucapnya.
Kajian ditutup dengan kembali pada kaedah ushul fiqh “ maa laa yudriku kulluhu walaa yutraku kulluhu “apa yang tidak dapat dicapai secara keseluruhan bukan berarti harus ditinggalkan seluruhnya”. Saat ini masih banyak kekurangan dalam perbankan syariah, tapi hal ini jangan dijadikan alasan untuk mundur dan mengatakan perbankan syariah sulit untuk ditegakkan. Justru disitulah peran kita sebagai pejuang ekonomi Islam untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. “Bukankah orang optimis itu memandang sebuah kelemahan menjadi sebuah tantangan yang harus ditaklukkan“ ucap sdr. Wahid.
PASAR MODAL UNDERCOVER
Abdul Wahid Al-Faizin
Bencana Pasar Modal
Di akhir tahun 2008 silam, dunia dihebohkan dengan adanya sebuah krisis maha dahsyat yang menghantam perekonomian hampir seluruh Negara di dunia yaitu krisis keuangan global. Krisis yang bermula dari kasus Subprime Mortgage di Amerika ini, mampu merontokkan nilai saham-saham yang listing di bursa saham dunia dalam sekejap. Akibat krisis tersebut perekonomian negara-negara di dunia mengalami resesi atau bahkan kontraksi. PHK pun tidak terelakkan lagi terjadi di mana-mana. Akibatnya, kemiskinan dan pengangguran meraja rela serta menjadi masalah di berbagai negara di dunia. Berbagai upaya pun dilakukan oleh berbagai negara yang terkena dampak krisis keuangan global tersebut. Bahkan Amerika Serikat yang selama ini menganut idiologi kapitalis yang anti intervensi pun pada akhirnya mengambil tindakan dalam menangani dampak krisis tersebut. Tidak tanggung-tanggung, negara asal film-film Hollywood ini mengeluarkan dana sebesar US$ 700 miliyar untuk menyelamatkan perekonomiannya.
Krisis yang bermula dari kegagalan pasar modal ini juga berperan penting dalam peningkatan kasus bunuh diri di dunia. WHO sebagai mana yang dikutip oleh “Pikiran Rakyat” memperingatkan bahwa Krisis keuangan global tampaknya akan meningkatkan gangguan kesehatan mental yang akan memicu kasus bunuh diri. Salah satu kasus bunuh diri yang paling menghebohkan adalah kasus bunuh diri seorang Milyader Jerman Adolf Merckle pada tanggal 5 Januari 2009 silam. Orang terkaya ke-5 di Jerman yang juga berada di urutan ke-94 orang terkaya di dunia menurut majalah Forbes ini bunuh diri dengan cara menabrakkan diri ke arah kereta yang melaju kencang.
Tidak hanya itu, berbagai perusahaan raksasa multinasional pun tidak berdaya menghadapi cengkraman krisis keuangan global di atas. Bahkan perusahaan besar sekaliber Lehman Brothers dan General Motor pun terkapar lemas akibat krisis tersebut. Keduanya terancam gulung tikar andai saja pada saat itu pemerintah Amerika tetap pada prinsip kolotnya yang tidak mau melakukan intervensi. Menurut laporan ADB -sebagai mana yang dikutip di Jurnal ekonomi Idiologi edisi 10 Maret 2009- kerugian dunia akibat krisis keuangan global pada tahun 2008 silam mencapai US$ 50 trilyun atau setara Rp 600 ribu trilyun (dengan kurs Rp 12.000/dollar AS pada saat itu). Angka tersebut tergolong spektakuler karena mencapai 121 kali lipat PDB Indonesia 2008 yang hanya sebesar Rp4.954,0 triliun.
Berbagai kasus di atas merupakan sebagian kecil dari keliaran pasar modal yang selama ini diagung-agungkan oleh banyak negara. Krisis tersebut merupakan bukti bahwa pasar modal selama ini telah mengalami banyak pelencengan dari fitrahnya. Tulisan ini mencoba menelusuri berbagai macam penyimpangan yang selama ini terjadi di pasar modal.
Penyimpangan dari Fitrah Pasar Modal
Kalau kita lihat sejarah krisis yang ada di dunia, hampir seluruhnya bermula dari sektor pasar modal. Hal ini dapat kita lihat dari ambruknya bursa saham Wall Street di tahun 1929 yang disusul oleh resesi ekonomi yang berkepanjangan di tahun 1930-an, 1940, 1970, 1980, Black Monday 1987, krisis moneter tahun 1997 di regional Asia. Seperti tidak pernah berhenti krisis yang diakibatkan oleh pasar modal tersebut terjadi kembali pada akhir tahun 2008 (Firmansyah: 2009). Krisis global yang bermula dari Amerika tersebut seperti kado akhir tahun yang amat pahit bagi perekonomian dunia. Namun anehnya dunia seakan tidak pernah disadarkan oleh kebobrokan sistem ekonomi kapitalis yang bertumpu pada sektor pasar modal. Boro-boro memperbaiki kerapuhan sistem pasar modal yang brobok ini, sebaliknya mereka menganggap krisis tersebut sebagagai hal biasa yang merupakan keniscayaan dari sebuah siklus perekonomian.
Kalau kita telusuri lebih lanjut, kita akan tahu bahwa kehancuran pasar modal yang selama ini terjadi berulang-ulang tidak terlepas dari adanya beberapa penyimpangan terhadap tujuan dan fungsi utama pasar modal yang menjadi fitrahnya. Tujuan utama dari pasar modal yang dimaksud adalah:
Pertama, sebagai institusi yang digunakan oleh perusahaan untuk mendapatkan dana murah untuk menjalankan kegiatan usahanya. Dari sinilah seharusnya fungsi intermediasi dari pasar modal menjadi sangat urgent. Namun pada kenyataannya pasar modal berubah menjadi lahan bagi para spekulan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Akibatnya pasar modal seolah menjadi hutan rimba yang memungkinkan masing-masing spekulan yang bermain di dalamnya untuk saling mencengkram satu sama yang lain. Tidak jarang kita mendengar seorang investor yang sangat bahagia karena memperoleh keuntungan bermilyar-milyar dalam hitungan menit saja, sementara seorang investor lainnya harus kecewa atau bahkan bunuh diri akibat kerugian besar yang dialaminya. Di sinilah hukum rimba seakan berlaku.
Kedua, sebagai sarana investasi masyarakat. Dalam hal ini, keberadaan pasar modal memberikan pilihan bagi masyarakat untuk berinvestasi. Dengan adanya pasar modal, masyarakat tidak hanya bisa menginvestasikan hartanya dalam bentuk properti, emas atau deposito di Bank, namun juga bisa menginvestasikan kekayaannya dalam bentuk saham dan obligasi.
Sebagai sebuah investasi yang ideal, investasi di pasar modal seharusnya merupakan investasi jangka panjang, yaitu dengan cara menginvestasikan dana di perusahaan yang listing di pasar modal. Dengan demikian, masyarakat bisa berpartisipasi untuk memiliki perusahaan yang sehat dan berprospek cerah.
Namun, bagai panggang yang jauh dari apinya, kebanyakan investor yang bermain di pasar modal bukanlah investor yang memilik tujuan investasi jangka panjang. mayoritas dari mereka hanya mencari keuntungan dari capital gain saja bukan dari deviden. Akibatnya tidak jarang mereka menyebarkan beberapa isu yang meresahkan dengan tujuan meningkatkan harga saham yang mereka miliki. Dengan demikian mereka akan mendapatkan capital gain yang besar dari kenaikan harga saham yang semu tersebut.
Ketiga, sebagai leading indicator bagi trend ekonomi sebuah negara. Sebagai leading indicator, pasar modal seharusnya merepresentasikan kondisi riil dari perekonomian yang ada di sebuah negara. Perkembangan pasar modal pun seharusnya sejalan dengan perkembanga sektor riil. Akan tetapi pada kenyataannya perkembangan pasar modal selama ini jauh meninggalkan sektor riil yang merupakan tulang punggung perekonomian. Hal ini dapat kita lihat dari omzet pasar finansial pada tahun 2006 - termasuk di dalamnya pasar modal- yang mencapai 2 trilyun US$ perhari. Sedangakan omzet dari pasar barang dan jasa hanya sebesar 7 trilyun US$ pertahun. Hal inilah yang oleh Drucke sebagai mana yang dikutip oleh Prof. Didin S. Damanhuri disebut proses Decoupling yang pada gilirannya menimbulkan Bubble Economy bagi perekonomian sebuah negara. Bubble Economy ini pada akhirnya nanti akan meletus dan memberikan bencana perekonomian maha dahsyat bagi dunia sebagai mana krisis-krisis yang selama ini terjadi.
Selain itu sebagai leading indicator, harga saham-saham yang listing di pasar modal pun seharusnya menjadi representatif dari kinerja perusahaan. Tinggi rendahnya sebuah saham seharusnya sangat tergantung dari baik atau jeleknya kinerja persuahaan yang menerbitkannya. Namun ironisnya, kenaikan harga sebuah saham acap kali berupa kenaikan yang semu belaka. Tidak jarang kenaikan nilai dari saham hanya diakibatkan oleh aksi goreng saham dari para pemain saham saja, tidak oleh kinerja baik dari perusahaan yang menerbitkannya. Kenaikan harga saham yang berlipat ganda dari harga yang seharusnya inilah yang pada akhirnya akan memperparah kondisi Bubble Economy bagi perekonomian sebuah negara. Hal ini dapat kita lihat dari kasus Subprime Mortgage yang merupakan pemicu terjadinya krisis keugangan global pada akhir tahun 2008 kemarin. Di mana harga sekuritas yang diterbitkan atas perumahan yang menjadi jaminannya jauh berkali lipat dari harga pasar dari perumahan tersebut.
Yahudi di Balik Pasar Modal
Nama Yahudi mungkin tidak asing lagi di telinga kita. Nama Yahudi akan selalu terlintas di benak kita ketika kita mendengarkan nama Palestina korban kebiadaban Israel yang merupakan negara bangsa Yahudi. Selain memiliki bakat menjajah, Yahudi juga memiliki kelihaian dalam menguasai dan mebangun sebuah kerajaan bisnis. Dengan jaringan yang mereka miliki, mereka berusaha menguasai seluruh aspek kehidupan dunia, mulai dari politik sampai ekonomi. Menurut Anton A. Ramdan, ambisi Yahudi untuk menguasai dunia ini didorong oleh pandangan mereka bahwa ras mereka adalah ras yang paling tinggi di dunia sehingga harus menguasai dunia. Pandangan tersebut berdasarkan ajaran yang ada pada kedua kitab yang menjadi pegangan mereka yaitu Taurat dan Talmud. Di antara ayat-ayat yang menjelaskan hal tersebut adalah “di mana saja mereka (orang Yahudi) datang, mereka akan menjadi pangeran raja-raja”(Sanhedrin 104a). Ayat lainnya adalah “air mani yang darinya tercipta bangsa-bangsa lain yang berada di luar agama Yahudi adalah air mani kuda” (Yerussalem, 94).
Dalam misinya untuk menguasai dunia, Yahudi melakukan berbagai strategi dan cara, di antaranya adalah dengan melobi institusi-institusi berpengaruh di dunia seperti IMF dan PBB. Bahkan tidak jarang mereka melakukan cara yang tidak halal untuk mencapai tujuan mereka menguasai dunia tersebut. Ironisnya, pencapaian tujuan dengan memakai cara yang tidak halal tersebut mendapatkan legitimasi dari kitab pegangan mereka. Legitimasi tersebut dapat kita lihat misalnya di dalam Babha Kama 113a yang berbunyi “setiap orang Yahudi boleh menggunakan kebohongan dan sumpah palsu untuk membawa seorang non-Yahudi kepada kejatuhan”. Ayat yang lainnya adalah “kepemilikan orang non-Yahudi seperti padang pasir yang tidak bertuan. Semua orang Yahudi yang merampasnay berarti dia telah memilikinya” (Talmud IV/1/113b)
Berdasarkan ajaran di atas, tidak heran kiranya kalau kita lihat beberapa pebisnis besar Yahudi sering melakukan ulah yang mengakibatkan kehancuran dunia. Kita mungkin masih ingat bagai mana ulah yang dilakukan oleh Goerge Soros dalam menghancurkan perekonomian Inggris. Dia menjual uang poundsterling dalam jumlah besar senilai $10 miliar dalam waktu yang sangat singkat. Peristiwa ini dikenal dengan Black Wednesday karena terjadi pada hari Rabu 16 September 1992. Tindakan Goerge Soros tersbut mengakibatkan Bank of England bangkrut. Sedangkan dia mendapatkan keuntungan sebesar US$1,1 miliyar dalam waktu singkat. Tidak hanya di Inggris, Goerge Soros juga menjadi otak di balik krisis yang melanda Asia pada tahun 1997. Di Indonesia sendiri, Krisis ini merambat menjadi krisis multidimensi yang berakhir dengan adanya reformasi.
Di antara strategi Yahudi dalam menguasai perekonomian dunia adalah dengan cara menguasai pasar modal dan pasar uang. Strategi ini dapat kita ketahui dengan jelas dari protokol 9 dari 24 Protocols of Zion. Dalam protokol 9 dijelaskan “pemerintah non-Yahudi harus digiring agar mau berhutang kepada kita. Agar beban mereka terus meningkat, kita harus memperbanyak pasar modal dan pasar uang dan harus pandai memainkannya. Bila sudah menguasai sektor keuangan, kita akan menghentikan pasar modal dalam posisi ekonomi tetap stabil dan kita berusaha jangan sampai rugi”. Ulah Goerge Soros di atas merupakan salah satu bukti bagai mana Yahudi menguasai sektor keuangan dan mampu mempermainkannya.
Islam dan Penyimpangan Pasar Modal
Kalau kita teliti secara menyeluruh, seluruh transaksi dalam Islam selalu mengarah kepada sektor riil. Dalam Islam, setiap transaksi harus memiliki Ma’qud alaih (objek transaksi) yang nyata dan diketahui dengan jelas. Setiap transaksi yang tidak memilik objek yang jelas dilarang oleh Islam. Oleh karena itulah, dapat kita simpulkan bahwa segala jenis akad yang ada dalam Islam seperti Mudlarabah, Murabahah dan Ijarah akan selalu berujung pada penciptaan barang dan jasa.
Menurut Ali Sakti Islam tidak mengenal adanya sektor moneter. Menurut dia kebijakan dan sektor moneter dalam Islam hanya diperlukan bila digunakan untuk menopang sektor riil. Perkembangan sektor moneter dalam Islam harus mengikuti perkembangan sektor riil, bukan sebaliknya sebagai mana yang terjadi dengan sektor moneter sekarang. Di mana sektor moneter jauh meninggalkan sektor riil yang ada. Dengan demikian, dalam Islam tidak pernah dikenal adanya istilah Decoupling antara sektor riil dan moneter sebagai mana yang ada di sistem ekonomi konvensioanl.
Berdasarkan hal di atas, dalam pandangan Islam, pasar modal yang merupakan bagian dari sektor financial seharusnya memberikan peranan penting bagi perkembangan perekonomian riil bagi sebuah negara. Pasar modal sejatinya menjadi instrument yang paling efisien bagi perusahaan guna mendapatkan dana murah untuk melakukan ekspansi usahanya yang pada akhirnya akan meningkatkan output riil bagi negara. Inilah fitrah pasar modal yang sebenarnya.
Kehancuran ekonomi yang selama ini terjadi tidak lain diakibatkan oleh adanya penyimpangan pasar modal dari fitrah aslinya sebagai pendukung sektor riil. Ekonomi ribawi yang selama ini diterapkan oleh perekonomian konvensional telah menjadikan pasar modal menjadi liar dan memakan banyak korban. Keliaran pasar modal tersebut diperparah lagi oleh ulah para spekulan yang hanya mencari keuntungan dengan cara memancing di air keruh. Mereka hanya mencari keuntungan yang sebesarnya saja tanpa memperhatiakan dampak tindakan mereka yang merusak perekonomian.
Dalam pandangan Islam, Bunga dan spekulasi inilah yang selama ini menggerogoti perekeonomian. Selagi keduanya masih meliputi perekonomian, proses Decoupling akan selamanya terjadi dalam sebuah perekonomian. Oleh karena itulah Islam sangat mengecam keduanya. Larangan tentang riba sangat jelas dikemukakan dalam al-qur’an pada surat Al-Baqarah ayat 278. Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman (QS. Al Baqarah: 278). Sedangkan transaksi spekulatif digambarkan oleh al-qur’an sebagai sesuatu yang kotor dan menjijikkan. Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minum khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan (QS. Al maidah: 90).
Krisis keuanga global yang bermula dari kehancuran pasar modal baru-baru ini seharusnya menjadi momentum penting bagi bangkitnya ekonomi Islam. Di sinilah sebenarnya ekonomi Islam ditantang untuk bisa menjadi problem solving bagi kebrobokan sistem ekonomi selama ini. Perkembangan institusi keuangan Islam termsuk pasar modal syariah seharusnya menjadi institusi yang mampu mengoreksi kerusakan sistem yang ada. Tidak sebaliknya hanya mengekor pada sistem yang ada, atau bahkan menjadi penguat bagi hegemoni ekonomi ribawi yang selama ini menguasai dunia. Dengan populasi umat Islam terbesar di dunia, Indonesia seharusnya bisa menjadi model bagi bangkitnya ekonomi yang berdasarkan al-qur’an hadits tersebut. Inilah tantangan terbesar bagi para penggiat ekonomi Islam yang ada di Indonesia. Mereka seharusnya tidak bersifat pragmatis, akan tetapi harus berusaha melakukan beberapa terobosan yang dapat memperbaiki sistem ekonomi ribawi yang telah menggurita di Indonesia. Wallahu a’lam bissowab
Antara BUNGA dan BAGI HASIL
Istilah bunga dan bagi hasil rasanya sangat familiar di tengah-tengah kita. Apalagi setelah lahirnya perbankan syariah di Indonesia tahun 1992, yang awalnya disebut bank bagi hasil. Bunga dapat kita artikan sebagai tambahan berupa persentase dari apa yang kita berikan kepada orang (utang). Misalnya kita berhutang kepada seseorang, maka kita diharuskan untuk membayar lebih sesuai nilai uang yang kita berikan. Walaupun kita untuk banyak atau bahkan rugi kita diharuskan membayar dengan kelebihan yang sudah disyaratkan di awal tadi.
Berbeda dengan bagi hasil/rugi, bagi hasil adalah pembagian hasil usaha yang kita belum tahu tingkat keuntungan yang ada nanti. Jadi pada bagi hasil, tidak ditentukan pembayaran kelebihan nantinya, sehingga bisa dikatakan keuntungannya masih remang-remang. Jika usaha mendapat keuntungan maka keuntungan tersebut dapat dibagi-bagi sesuai kesepakatan, namun jika rugi maka kerugian pun harus dapat dibagi-bagi (secara prinsip).
Beberapa hari yang lalu, ketika saya menonton tv yang menyiarkan siaran langsung pemanggilan wakil presiden Boediono terkait hal Century, saya menyimak sepetik kata yang dikatakan oleh ‘Pak Wapres’ bahwa, sesungguhnya pem-bail out-an Bank Century adalah karena banyaknya uang orang Indonesia yang pergi keluar negeri, sebab di luar negeri keuntungan dari tabungan lebih banyak dibandingkan yang ditawarkan di Indonesia. Hal ini memicu kekosongan kas perbankan sehingga dana kredit investasi pun kosong.
Mari kita kesampingkan kasus century tersebut, yang saya ingin garis bawahi adalah keuntungan yang lebih menjanjikan ketika menabung di luar negeri.
Ketika saya mengingat-ingat pelajaran yang telah saya dapatkan ketika kuliah, bahwa ketika bunga bank naik, akan memicu naiknya keinginan nasabah untuk menitipkan uangnya ke bank, namun akan menyulitkan nasabah kredit yang menginkan dana untuk pengembangan usahanya karena bunga yang tinggi. Maka, dapat disimpulkan ketika bunga naik, penabung naik, tapi investasi akan lesu karena bunga bank tinggi.
Namun jika kita nalarkan sebaliknya, ketika bunga bank turun, nasabah penabung turun, dan investasi akan naik. Benarkah itu???? Mari kita selidiki..
Saya rasa dalam kejadian bunga bank naik sudah jelas. Namun agak kurang jelas ketika bunga turun, yang mengakibatkan nasabah penabung turun namun investasi naik. ‘Nasabah penabung turun, investasi naik’, dalam kata-kata ini saya kira ada ketimpangan yang terjadi. Mana mungkin uang yang tidak ada dapat menaikkan investasi??
Uang masyarakat akan pergi keluar negeri yang menjanjikan keuntungan yang lebih besar, jika bunga dalam negeri rendah. Akibatnya terjadi kekosongan dalam perbankan sehingga walaupun dapat menarik minat penegmbangan usaha , tetap saja uangnya tidak ada.
Terlihat kebingungan di sini, mau bunga rendah atau tinggi? Karena keduanya sama-sama tidak dapat mengembangkan ekonomi.
Berbeda dengan bagi hasil yang tidak ada kepastian keuntungan di awal. Antara pemodal dan pelaku usaha akan saling mendo’akan, pemodal mendoakan pengusaha agar mendapatkan keuntungan, dan pengusaha pun tidak perlu takut untuk rugi karena tidak harus membayar kelebihan yang ada, dengan catatan usaha harus dijalankan dengan serius dan tidak lalai. Jika lalai pengusaha harus dapat mengembalikan seluruh kerugian dari modal yang diberikan pemodal tanpa tambahan.
Sehingga akan tumbuh jiwa tolong-menolong baik pemodal dan pengusaha. Ketika jiwa tolong-menolong timbul maka saya yakin ekonomi pun akan meningkat. Harta akan menyebar bukan hanya bagi orang kaya tapi juga akan menyebar ke orang menengah bahkan orang miskin sekalipun. Ketika itu terjadi saya yakin kesejahteraan akan meningkat.
Jadi mau pilih mana bunga tinggi, bunga rendah, atau bagi hasil???
Al-Al-Hisbah dan Aplikasinya di Indonesia
Pendahuluan
Islam merupakan agama yang sungguh luar biasa sempurnanya, karena setiap aktivitas kita telah Allah SWT atur dalam agama yang di ridhoi-Nya yaitu Islam. Sehingga setiap aktivitas kita itu mengandung sebuah keberkahan dan kemashlahatan bagi kehidupan di dunia maupun di akhirat, karena setiap aktivitas kita jika diniatkan untuk meraih ridhonya maka itu tentunya akan menjadi nilai ibadah dimata Allah SWT. Begitu pun dalam aktivitas ekonomi, setiap aktivitas ekonomi jika kita laksanakan sesuai dengan apa yang telah disyariatkan maka itu akan mejadi nilai ibadah pula bagi kita, itu lah uniknya ekonomi Islam, kita akan senantiasa mendapatkan dua kebaikan dalam setiap aktivitas kita yaitu kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.
Salah satu aktivitas ekonomi adalah aktivitas di pasar, pasar adalah sebuah mekanisme pertukaran barang dan jasa yang alamiah dan telah berlangsung sejak awal peradaban manusia. Islam menempatkan pasar pada kedudukan yang penting dalam perekonomian, pentingnya pasar dalam Islam tidak terlepas dari fungsi pasar sebagai wadah bagi berlangsungnya kegiatan jual beli. Jual beli sendiri memiliki fungsi penting mengingat, jual beli merupakan salah satu aktifitas perekonomian yang “terakreditasi” dalam Islam. Pentingnya jual beli sebagai salah satu sendi perekonomian dapat dilihat dalam surat Al Baqarah 275 bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Pentingnya pasar sebagai wadah aktifitas tempat jual beli tidak hanya dilihat dari fungsinya secara fisik, namun aturan, norma dan yang terkait dengan masalah pasar. Dengan fungsi di atas, pasar jadi rentan dengan sejumlah kecurangan dan juga perbuatan ketidakadilan yang menzalimi pihak lain. Sehingga secara idealnya seseorang yang akan melakukan aktivitas ekonomi (bermuamalah) di pasar itu harus faham terhadap ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariat dalam fiqh muamalah. Oleh karena itu, dalam sebuah kisah disebutkan bahwa pada suatu saat Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan berkata : “Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam” (H.R.Tarmizi).
Dengan demikian untuk lebih menjamin berjalannya mekanisme pasar secara sempurna, dan memastikan bahwa pasar berfungsi sebagaimana yang diinginkan Islam, dimana kemashlahatan terdistribusi secara maksimal, kesejahteraan dirasakan setiap jiwa yang ada dibawah sistem tersebut, maka diperlukan sebuah pengawasan yang baik. Dalam ekonomi Islam eksistensi dari lembaga pengawas ini sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW yang dikenal dengan al-Hisbah, dan ini menjadi salah satu karakteristik unik yang juga merupakan bentuk orisinil sistem ekonomi Islam, yaitu dengan eksistensi institusi pengawasan dan peradilan ekonomi, terutama eksistensi lembaga pengawas pasar.
Al-Al-Hisbah dan Aplikasinya di Indonesia
Al-Al-Hisbah secara etimologis berarti menghitung, berfikir, memberikan opini, pandangan dan lain-lain. Sedangkan secara secara istilah Ibnu Taimiyah mendefinisikan Al-Al-Hisbah sebagai lembaga yang bertujuan untuk memerintahkan apa yang disebut sebagai kebaikan (al-ma’ruf) dan mencegah apa yang secara umum disebut sebagai keburukan (al-munkar) didalam wilayah yang menjadi kewenangan pemerintah untuk mengaturnya, mengadili dalam wilayah umum-khusus lainnya, yang tidak bisa dijangkau oleh institusi biasa.
Jika dilihat dari pengertian diatas, maka Al-Al-Hisbah tidak hanya berfungsi sebagai institusi yang mengawasi pasar saja (ekonomi) tetapi untuk bidang hokum juga. Berdasarkan kajian Hafas Furqani (2002) menyebutkan beberapa fungsi al-Hisbah, yaitu :
1. Mengawasi timbangan, ukuran, dan harga.
2. Mengawasi jual-beli terlarang, praktek riba, maisir, gharar dan penipuan.
3. Mengawasi kehalalan, kesehatan, dan kebersihan suatu komoditas.
4. Pengaturan (tata letak) pasar.
5. Mengatasi persengketaan dan ketidakadilan.
6. Melakukan intervensi pasar.
7. Memberikan hukuman terhadap pelanggaran.
Adapun Landasan Al-Hisbah terdapat dalam Surat Ali Imran ayat 104;
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”
Dari pemaparan diatas , sudah sangat jelas bahwa lembaga pengawasan itu sangat penting dalam menjaga agar mekanisme pasar berjalan sesuai dengan fungsinya. Jika kita lihat di Indonesia maka peran al-Hisbah tidak akan kita lihat secara nyata karena di Indonesia lembaga al-Hisbah ini tidak dibuat secara independent menjadi satu lembaga pengawasan khusus karena memang system pemerintahan yang dianut oleh Indonesia bukan berasaskan Islam walaupun mayoritas penduduknya adalah muslim sehingga hal ini menjadi suatu hal yang wajar terjadi. Tetapi walaupun demikian fungsi al-Hisbah di Indonesia sebenarnya telah ada, itu bisa kita lihat dalam bagan pengawasan di Indonesia dibawah ini :
Dari bagan diatas bisa kita lihat secara tidak langsung peran al-Hisbah telah terbentuk oleh sinergi dari beberapa lembaga diatas dalam upaya pengawasan pasar, namun jika dilihat dari pengertian dan fungsi al-Hisbah secara luas maka alur pengawasan diatas hanya mewakili sebagain kecil dari peran al-Hisbah. Tetapi paling tidak fungsi al-Hisbah itu telah ada di Indoensia yang direpresentasikan oleh lembaga-lembaga pengawasan yang muncul di Indonesia.
Lembaga-lembaga yang telah mewakili fungsi al-Hisbah di Indonesia adalah LPPOM-MUI yang ada dalam bagan diatas, dimana dengan adanya LPPOM-MUI ini fungsi al-Hisbah dalam mengawasi kehalalan, kesehatan dan kebersihan suatu komoditas telah terwakili oleh lembaga ini, kemudian dari segi pelarangan jual beli terlarang yang mengandung riba, maisir, gharar dan penipuan dalam setiap aktivitas ekonomi itu telah diatur pengawasannya oleh MUI melalui DSN-MUI dengan mengeluarkan fatwa keharaman dari aktivitas diatas. Selain itu lembaga pengawasan pasar juga di wakili oleh YLKI yang berfungsi untuk melindungi hak-hak konsumen yang harus dipenuhi oleh para produsen sehingga dengan demikian para produsen tidak akan seenaknya membuat produk yang pada esensinya itu membahayakan para konsumen dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Apabila peran al-Hisbah di Indonesia ini dikaji lebih dalam, maka kita akan menemukan banyaknya lembaga yang pada esensinya merupakan bagian dari fungsi a-Hisbah.
Kesimpulan
Untuk lebih menjaga sebuah mekanisme pasar sesuai dengan fungsinya dan memastikan bahwa pasar berfungsi sebagaimana yang diinginkan Islam, dimana kemashlahatan terdistribusi secara maksimal, kesejahteraan dirasakan setiap jiwa yang ada dibawah sistem tersebut, maka diperlukan sebuah pengawasan yang baik yaitu direpresentasikan dengan adanya lembaga pengawasan pasar yang dikenal dengan al-Hisbah. Secara umum dapat disimpulkan bahwa fungsi dari al-Hisbah ini telah diaplikasikan di Indonesia namun lembaga ini tidak berdiri secara independent, tetapi tersebar dalam beberapa lembaga seperti LPPOM-MUI, kepolisian, LSM seperti YLKI dan lembaga-lembaga lainnya. Karena memang asas dari pemerintahan Indonesia itu bukan berasaskan Islam walaupun mayoritas penduduknya adalah muslim. Walaupun demikian, paling tidak fungsi pengawasan pasar tetap ada di Indonesia dan sejatinya upaya yang seharusnya kita lakukan sebagai seorang muslim adalah mendukung dan mendorong secara utuh keberadaan lembaga-lembaga tersebut agar terus berjalan sesuai dengan fungsinya sebagai wujud dari harapan kita bersama untuk menciptakan suatu aktivitas ekonomi masyarakat yang berkeadilan, transparan, dan sesuai dengan apa yang telah disyariatkan dalam ajaran Islam. Wallahu’alam bishwab.
Referensi
Kuliah Ekonomi Mikro Islam “Mekanisme Pasar dalam Islam” oleh : Bpk. Handi Rizsa
P3EI UII. Ekonomi Islam, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Sakti, Ali. Analisis Teoritis Ekonomi Islam Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern, Jakarta:Paradigma&AQSA Publishing,2007.
PesantrenVirtual.com/ekonomi syariah/kewajiban mempelajari fiqh muamalah (fiqh ekonomi)